Untuk sejumlah undang-undang penting, mulai dari UU Cipta Kerja hingga revisi undang-undang pemilu dan korupsi, lembaga legislatif hanya sebatas memberi persetujuan atas usulan yang diajukan oleh lembaga eksekutif.
emokrasi tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa adanya golongan oposisi yang kredibel. Kondisi dalam dekade terakhir ini telah memperlihatkan contoh yang jelas tentang apa yang terjadi jika pemerintahan presidensial tidak diimbangi kekuatan di luar kelompok penguasa.
Pada masa jabatan pertama Presiden Joko “Jokowi” Widodo, dari 2014 hingga 2019, ia mendapat dukungan dari koalisi yang menguasai lebih dari 60 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meski didukung suara mayoritas, ia masih menghadapi beberapa hambatan dalam mewujudkan janji kampanyenya. Namun, kendala itu hampir terhapuskan ketika ia memperluas koalisi pemerintahannya di awal masa jabatan kedua. Koalisi yang makin luas memungkinkan Jokowi mencapai tujuan kebijakan utama seperti pembangunan infrastruktur dan hilirisasi komoditas.
Dengan dukungan 80 persen anggota DPR yang keputusannya tidak dapat diganggu gugat – dan merupakan koalisi politik terbesar yang pernah ada di Indonesia, muncul godaan untuk berbuat lebih secara tidak patut.
Dan koalisi akhirnya bertindak melampaui batas.
Dalam lima tahun terakhir, banyak kebijakan, rencana serta usulan yang diajukan ke DPR tanpa melalui konsultasi atau minim pengawasan publik.
Untuk sejumlah undang-undang penting, mulai dari UU Cipta Kerja hingga revisi undang-undang pemilu dan korupsi, lembaga legislatif hanya bertugas sebagai pemberi persetujuan atas usulan yang diajukan oleh lembaga eksekutif.
Dan jika suatu gagasan kemungkinan besar akan memicu perdebatan serius, lembaga eksekutif akan mengabaikan DPR. Eksekutif langsung mendatangi lembaga peradilan, yang juga jadi ajang kumpul saudara, yang akan serta merta menyetujui usulan.
Ketika koalisi berkuasa menyetujui usulan untuk mencalonkan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wakil presiden bersama presiden terpilih Prabowo Subianto, orang dalam pemerintahan merancang rencana untuk mengajukan peninjauan kembali persyaratan batas usia bagi kandidat, kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Dan ketika MK akhirnya menyetujui usulan tersebut, tak seorang pun yang secara terbuka menentang putusan tersebut.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) harus menyadari risiko yang timbul jika sistem politik tidak memiliki oposan yang kredibel. Mereka toh sudah mengalami episode akhir 1990-an ketika secara gigih mengambil posisi berseberangan dengan rezim otoriter di bawah Soeharto, pemimpin Orde Baru.
Keberanian tersebut diapresiasi para pemilih di ajang pemilihan umum secara langsung perdana pada 1999. PDI-P memenangkan lebih dari 30 persen suara rakyat.
Baru-baru ini, bahkan ketika PDI-P masih menjadi anggota koalisi yang berkuasa, PDI-P menjadi pengkritik vokal terhadap kecenderungan langkah Presiden Jokowi yang antidemokrasi.
Kini, dengan hampir semua partai politik berebut posisi di pemerintahan baru Prabowo, PDI-P sekali lagi harus mengibarkan bendera sebagai pihak oposisi.
Ketua PDI-P Megawati Soekarnoputri tidak pernah secara jelas menyebutkan posisi formal partai terkait kemenangan Prabowo dalam pemilihan presiden. Namun, akhir pekan ini, ia menarik garis yang jelas dalam pidato pembukaan di acara Rapat Kerja Nasional PDI-P.
“Sebagai partai politik yang punya sejarah panjang dalam memperjuangkan demokrasi, kita mengedepankan checks and balances. Demokrasi perlu ada kontrol dan penyeimbang,” kata Megawati dalam pidato berapi-api yang disambut sorak-sorai dukungan hadirin. Sorak sorai makin membahana ketika politisi senior tersebut mempertanyakan tanggung jawab Jokowi atas melemahnya Mahkamah Konstitusi.
Sebagai partai terbesar di badan legislatif, PDI-P dapat berperan, jika mereka mau, sebagai penyeimbang yang substansial terhadap pemerintahan Prabowo yang akan datang. Dinamika tersebut akan menjadi pertanda baik bagi demokrasi di negara ini.
Bagaimana pun, tugas pemerintahan terlalu penting untuk diserahkan hanya kepada lembaga eksekutif saja, bahkan meskipun lembaga tersebut punya niat baik.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.