Para pemimpin dunia harus belajar dari Biden. Ia tahu kapan harus mundur, sebelum digulingkan dari jabatannya.
ara pemimpin dunia mungkin akan pikir-pikir lagi soal posisi mereka, setelah pada Minggu 21 Juli Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengumumkan bahwa ia membatalkan rencana pencalonannya dalam pemilihan presiden yang akan datang. Ia juga menyatakan mendukung Wakil Presiden Kamala Harris untuk menggantikannya dalam kontestasi melawan Donald Trump pada November mendatang. Sebelum Biden menyatakan mundur, secara luas Trump telah diprediksi akan dengan mudah memenangkan pemilihan untuk masa jabatannya yang kedua kali.
Biden patut mendapat tepuk tangan meriah atas sikap kenegarawanan yang ia perlihatkan dalam memutuskan mengorbankan ambisi pribadi, demi kepentingan partai dan rakyat Amerika. Hal ini juga menjadi pengingat bagi para pemimpin yang sudah lanjut usia di seluruh dunia, termasuk di ASEAN, bahwa mereka harus belajar dari Biden. Mereka perlu tahu kapan harus menyingkir, sebelum digulingkan dari jabatannya.
Secara umum, para pemimpin negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, serta para pemimpin diktator, lebih nyaman berurusan dengan pemerintahan Partai Republik. Pasalnya, partai tersebut merupakan partai konservatif yang selalu memprioritaskan kepentingan ekonomi dan keamanan. Sementara, Partai Demokrat dikenal sangat menuntut dalam isu-isu hak asasi manusia, perburuhan, hak-hak perempuan, serta kebebasan berbicara dan beragama.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo tidak pernah menjadi sasaran serangan Trump yang menjalani masa jabatan pertamanya pada 2017-2021. Jokowi juga berhubungan baik dengan Biden.
Bagi Trump, mundurnya Biden bisa jadi makin menguntungkannya dalam pemilihan mendatang. Ia hanya perlu menghadapi satu kandidat baru dari Partai Demokrat, baik wakil presiden atau politisi lainnya. Trump nampak diharapkan banyak orang akan memenangkan masa jabatannya yang kedua. Namun, ia tidak bisa menganggap enteng Harris, jika Partai Demokrat pada akhirnya mencalonkan sang wakil presiden. Harris adalah mantan jaksa yang bisa memanfaatkan kasus hukum yang menimpa Trump, yang telah dijatuhi hukuman untuk kasus penyalahgunaan kekuasaan dan skandal lainnya.
Masih ada satu bulan tersisa bagi partai untuk menentukan calon unggulannya. Namun beberapa petinggi Partai Demokrat, termasuk Pemimpin Mayoritas Senat Chuck Schumer, Pemimpin Minoritas DPR Hakeem Jeffries, mantan presiden Barack Obama, dan mantan ketua parlemen Nancy Pelosi, tidak secara eksplisit memberikan dukungan mereka pada Harris. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang arah yang akan diambil partai tersebut di hari-hari mendatang.
Harris punya kemungkinan unggul karena dia adalah bagian dari pemerintahan petahana. Namun, ia bisa juga terhadang rintangan, mengingat fakta bahwa dia adalah perempuan dan bukan kulit putih. Trump sangat ahli dalam memanipulasi isu-isu seperti supremasi kulit putih dan maskulinitas.
Bagi presiden terpilih Indonesia Prabowo Subianto, siapa pun presiden AS berikutnya tidak jadi soal, baik dari partai Demokrat atau Republik. Sebagai menteri pertahanan RI, Prabowo telah berurusan dengan pemerintahan Biden. Sedang sebagai mantan jenderal Angkatan Darat, dia mungkin akan merasa lebih mudah berdiskusi dengan Partai Republik.
Setidaknya dalam 10 tahun terakhir, antusiasme Amerika untuk mendikte dan mencampuri urusan dalam negeri negara lain semakin memudar, karena kini negara-negara berkembang semakin tidak bergantung pada AS. Lepasnya ketergantungan ini, antara lain, karena sudah ada negara alternatif, terutama Tiongkok. Gedung Putih dapat terus menyombongkan diri kepada dunia, namun AS juga sadar bahwa posisi tawar negeranya telah melemah.
AS tidak lagi dapat mendikte Tiongkok, meskipun AS tetap menjadi negara dengan ekonomi terbesar dan militer terkuat di dunia. Banyak yang tidak siap menerima kenyataan bahwa kekuatan AS saat ini sedang melemah, itulah sebabnya slogan Trump “Membuat Amerika Hebat Lagi” membuatnya menang dalam pemilu 2016. Slogan serupa mungkin kembali manjur untuk pemilihan presiden mendatang.
Para pemimpin di seluruh dunia, termasuk Jokowi dan penggantinya, Prabowo, mengamati dengan cermat perkembangan di AS. Mereka mungkin harus menyiapkan rencana cadangan jika Trump kalah lagi. Ini akan jadi kekalahan kedua, dan berturut-turut, saat melawan kandidat Partai Demokrat.
Terlepas dari hasil akhirnya, akan menarik menyimak duel antara Trump vs Harris, jika terwujud. Ini akan menjadi pertarungan antara jaksa dan terpidana.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.