Indonesia termasuk di antara negara-negara di dunia yang paling kasar di internet. Bisa jadi, para remaja Indonesia, yang umumnya sangat aktif di media sosial hampir sepanjang waktu, telah terpapar perilaku tidak sopan dari para netizen.
eberapa minggu terakhir, bahkan selama beberapa bulan ini, bukan merupakan saat-saat yang bisa dibanggakan dari para remaja kita. Banyak berita-berita tentang kekerasaan remaja yang menggema di seluruh nusantara. Padahal, generasi muda inilah yang akan meneruskan cita-cita negara ini untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 kelak.
Berita diawali dengan laporan dugaan terjadinya perundungan di sekolah swasta bernama Binus yang berlokasi di Tangerang Selatan, Banten, awal tahun ini. Kasus yang menjadi viral di media sosial ini melibatkan beberapa siswa yang diduga memukul, menyundut dengan rokok, dan mencekik adik kelas mereka. Tindakan kekerasan itu hanyalah beberapa saja, masih banyak tindakan lainnya.
Ketika kasus pertama belum sepenuhnya selesai, satu cabang Sekolah Binus lagi-lagi diguncang dugaan aksi perundungan. Seorang korban, remaja berusia 16 tahun, mengaku telah dirundung oleh puluhan siswa yang tergabung dalam sebuah kelompok tanpa nama, sejak ia masuk sekolah pada November 2023. Polisi tengah mengusut kasus ini.
Kasus-kasus ini mungkin baru sebagian kecil dari tumpukan banyak peristiwa. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan telah menerima lebih dari 300 laporan kekerasan terhadap anak di lembaga pendidikan. Sebagian besar kasus yang dilaporkan, menurut KPAI, adalah kasus perundungan.
Angka 300 kasus itu hanya mencakup insiden perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah. Angka sebenarnya bisa jadi jauh lebih tinggi, apalagi jika termasuk kasus perundungan di luar sekolah.
Lihat saja di Bekasi, Jawa Barat. Suatu hari, tujuh remaja laki-laki ditemukan tewas di Kali Bekasi. Sebelum tewas, remaja-remaja berusia antara 15 hingga 20 tahun itu dikabarkan kabur dari kejaran polisi. Mereka dikejar oleh polisi yang mendapat aduan dari media sosial bahwa mereka akan tawuran. Beberapa teman mereka ditangkap karena kedapatan membawa senjata tajam.
Jika kita harus mencari pihak yang layak dituding bersalah dalam kasus yang menyedihkan ini, pertama-tama kita harus melihat pada diri kita sendiri, orang dewasa. Kita yang salah karena telah melestarikan kondisi yang menyebabkan anak-anak muda itu melakukan kekerasan.
Kementerian Pendidikan memiliki aturan untuk mencegah perundungan. Namun, guru dan staf sekolah lainnya mungkin kurang memahami dengan jelas kriteria perbuatan yang masuk kategori kekerasan. Ketidakpahaman itu pada akhirnya membuat mereka melakukan tindakan yang oleh siswa dianggap sebagai tindakan kekerasan.
Orang-orang di sekitar anak-anak itu juga tidak membantu. Para ahli menunjukkan bukti bahwa keluarga cenderung sangat bergantung pada sekolah untuk urusan pendidikan anak-anak mereka. Akibatnya, para remaja tidak mendapatkan interaksi yang tepat dan kurang hubungan dari hati ke hati. Dalam beberapa kasus, bahkan mungkin orang tua mereka sendiri yang melakukan kekerasan terhadap anak-anak itu, atau bertindak keras di depan mereka.
Media bisa jadi telah membantu memperparah meluasnya normalisasi tindak kekerasan ini. Televisi mungkin tidak lagi relevan, mengingat para remaja sekarang tidak lagi menonton siaran dari alat yang dianggap peninggalan masa lalu itu. Tapi beberapa program masih dengan bebas menyiarkan tindakan kekerasan dan perundungan melalui kanal siaran mereka, dan sering kali siaran itu disamarkan sebagai komedi.
Media sosial tidak lebih baik. Indonesia termasuk dalam daftar negara di dunia yang paling kasar di internet. Karena itu, para remajanya, yang umumnya sangat aktif di media sosial, mungkin sekali telah terpapar perilaku tidak sopan dari para netizen yang mereka tonton hampir sepanjang waktu.
Anak-anak ini mungkin berpikir, "Jika orang dewasa tidak keberatan melakukannya, baik di dunia nyata maupun dunia maya, mungkin tidak apa-apa jika saya juga melakukannya." Bagaimanapun, anak-anak dan remaja adalah peniru ulung gerak-gerik orang tua.
Melihat gambaran yang lebih besar, negara mungkin juga turut bertanggung jawab atas maraknya kekerasan di kalangan remaja. Lihat saja penerapan kebijakan anti perundungan yang tidak tepat sasaran. Belum lagi kurangnya ruang publik yang aman bagi remaja untuk menjadi diri sendiri sekaligus mengaktualisasikan diri mereka. Kemudian, kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan juga buruk, hingga akhirnya memaksa orang dewasa bekerja luar biasa keras dan menyebabkan mereka hanya punya sangat sedikit waktu untuk membersamai anak-anak mereka.
Di satu sisi, orang tua dan guru harus punya daftar panjang terkait hal-hal yang dilakukan untuk mencegah meluasnya tindak kekerasan di kalangan remaja. Di sisi lain, pemerintah juga harus bekerja lebih baik untuk membantu kita, orang dewasa, menciptakan lingkungan yang aman bagi kaum muda.
Tanpa perbaikan dan kerja sama semua pihak, pada peringatan seratus tahun Indonesia kelak, kita bukannya menghasilkan Indonesia emas, tetapi Indonesia cemas.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.