Keputusan Jokowi untuk mencabut larangan ekspor pasir laut yang telah berlaku selama puluhan tahun, memunculkan dikotomi klasik antara “boleh” dan “harus”, serta mengabaikan alasan kebijakan tersebut diberlakukan sejak awal.
Keputusan pemerintah untuk mengizinkan dimulainya kembali ekspor pasir laut akan berdampak buruk pada lingkungan dan mata pencaharian masyarakat nelayan. Sementara itu, pendapatan pajak dan pendapatan yang dikumpulkan dari biaya perizinan dan bea ekspor akan sangat minim, bahkan mungkin tidak ada artinya. Satu-satunya pihak yang akan diuntungkan dengan dibukanya kembali ekspor pasir laut adalah beberapa perusahaan yang sangat terlibat, yang sudah mengantre untuk mendapatkan konsesi mengeruk pasir dan mengirimkannya ke luar negeri.
Kita tidak boleh menyalahkan Singapura, yang kemungkinan besar merupakan pembeli pasir asing utama, jika bukan satu-satunya. Negara tetangga berbentuk pulau tersebut telah melanjutkan proyek reklamasi lahannya yang besar tanpa pasir dari Indonesia selama 22 tahun terakhir. Ia menggunakan Malaysia sebagai sumber material. Singapura mungkin telah memberi alasan untuk mencabut larangan penggunaan pasir laut yang telah berlaku selama puluhan tahun. Tapi, pada akhirnya, keputusan mencabut larangan ekspor pasir adalah sepenuhnya keputusan Indonesia, dan Indonesia sendiri yang harus menanggung akibatnya.
Tindakan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk mencabut larangan eksoor pasir sebelum ia lengser pada 20 Oktober sungguh mengerikan, meski tidak terlalu mengejutkan. Ini bukan pertama kalinya ia membantu mengisi kantong para kroninya, sebagai imbalan atas dukungan mereka.
Jangan sampai ia lupa, sebagian besar dukungan yang ia peroleh datang dari orang-orang yang memilihnya untuk berkuasa, termasuk orang miskin. Dan dukungan itu diberikan bukan hanya sekali, tetapi dua kali. Banyak pula pendukung yang tetap setia, seperti tergambar dalam peringkat popularitasnya yang tinggi. Ia mengabaikan orang-orang yang seharusnya ia apresiasi dengan ucapkan terima kasih.
Kebijakan ekspor pasir adalah kebijakan yang paling anti-orang miskin, anti-lingkungan, dan pro-bisnis, yang dikeluarkan oleh pemerintahan presiden yang akan segera pensiun.
Para ahli telah memperingatkan bahwa dimulainya kembali ekspor pasir akan berdampak buruk pada lingkungan. Dan alasan itulah yang mendasari larangan tersebut diberlakukan pada 2002 oleh presiden saat itu, Megawati Soekarnoputri. Larangan itu ditegaskan kembali oleh penggantinya pada 2007, Susilo Bambang Yudhoyono.
Pengerukan dasar laut untuk mengambil pasir mengganggu ekosistem laut, dengan menghancurkan terumbu karang. Aktivitas itu akan mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati laut dan hutan bakau, dalam jumlah besar.
Dan kemudian ada erosi wilayah pesisir. Naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim sudah mengancam akan menenggelamkan banyak pulau kecil. Pengerukan pasir dari daerah pesisir dataran rendah hanya akan mempercepat proses tenggelam saja. Puluhan pulau telah menghilang dan kemungkinan akan lebih banyak lagi yang hilang dalam beberapa tahun mendatang.
Pemerintah harus melakukan penghitungan ulang untuk menentukan berapa jumlah pulau yang sebenarnya dimiliki Indonesia. Tentu saja sudah bukan 17.505 pulau, seperti yang sering dikutip oleh para pejabat.
Selain itu, masyarakat nelayan pesisir, yang termasuk masyarakat termiskin di negara ini, bisa kehilangan sumber mata pencaharian utama akibat kebijakan ekspor pasir. Kebijakan ini hanya akan membuat banyak orang semakin miskin.
Presiden Jokowi mempermalukan dirinya sendiri dengan mengklaim bahwa larangan ekspor masih berlaku dan pelonggaran hanya berlaku untuk sedimen bawah laut. Bahkan, saat itu, ia menggolongkan kebijakan pelonggaran tersebut khusus untuk endapan sedimen dalam jumlah besar yang mengganggu aktivitas pelayaran.
Para pemerhati lingkungan dengan cepat menunjukkan bahwa pengerukan bawah laut tidak membedakan antara pasir dan sedimen. Pembentukan sedimen sendiri butuh waktu puluhan tahun, bahkan berabad-abad. Salahkan saja menteri perdagangan dan kelautan dari kabinet Jokowi yang tidak mempersiapkan sang presiden dengan baik, sehingga bisa menjelaskan hal pencabutan larangan tersebut kepada publik secara benar.
Kebijakan restriktif yang hanya mengizinkan ekspor jika kebutuhan dalam negeri terpenuhi sungguh menggelikan, bahkan tragis. Dan, lebih dari 60 perusahaan dilaporkan telah mengajukan permohonan konsesi pengerukan dan izin ekspor pasir laut.
Ada pula tanda tanya besar tentang kemampuan pemerintah untuk memantau dan mengawasi kegiatan pengerukan, guna memastikan kepatuhan yang ketat. Termasuk dalam hal ini adalah kepatuhan terkait jenis sedimen yang dapat digali. Bagaimanapun, penyelundupan pasir besar-besaran, akibat maraknya korupsi dan kolusi yang melibatkan lembaga negara, adalah penyebab pemberlakuan larangan tersebut 22 tahun lalu.
Sayangnya, tidak ada kondisi yang berubah. Tidak ada situasi yang meyakinkan kita bahwa keadaan saat ini akan berbeda. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa lembaga negara tidak akan terlibat korupsi dan kolusi.
Kami gembira bahwa Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto telah meminta pemerintah untuk menunda dimulainya kembali ekspor pasir. Begitu ia menjabat, Prabowo dapat melakukan yang lebih baik dan memberikan bantuan besar bagi lingkungan dan komunitas nelayan kita. Prabowo harus memberlakukan kembali larangan ekspor pasir tersebut.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.