TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Hei Polisi, kamu kenapa? 

Sikap polisi yang umumnya bermusuhan saat berhadapan dengan jurnalis mungkin datang langsung dari pimpinan puncak.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Sat, April 12, 2025 Published on Apr. 11, 2025 Published on 2025-04-11T17:12:21+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Hei Polisi, kamu kenapa? Protecting press freedom: Press Council chairwoman Ninik Rahayu delivers a statement condemning the alleged intimidation of journalists of 'Tempo' news magazine on March 21 in Jakarta. (Antara/Fathul Habib Sholeh)
Read in English

 

Polisi mengeluarkan peraturan baru yang membatasi pergerakan jurnalis asing, yang telah terakreditasi, di Indonesia. Aturan itu muncul setelah terjadi serangkaian insiden antara polisi dan beberapa jurnalis, yang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam hubungan mereka.

Ini tidak baik untuk masyarakat. Kita memang tidak mengharapkan adanya sebuah hubungan yang mesra. Namun, tentu saja masing-masing pihak harus menunjukkan rasa hormat terhadap profesi yang lain. Tugas polisi adalah melindungi dan melayani. Sedangkan, tugas jurnalis adalah memberi informasi pada publik serta meminta pertanggungjawaban mereka yang berkuasa. Keduanya adalah layanan publik yang penting bagi berjalannya masyarakat yang demokratis.

Masalahnya adalah bahwa sikap polisi tersebut, yang umumnya bermusuhan terhadap jurnalis, bisa jadi datang langsung dari para pimpinan puncak. Jika sikap-sikap yang melecehkan jurnalis menjadi hal yang biasa di kalangan petugas polisi, kemungkinan besar hal itu terjadi karena para polisi telah didorong oleh sikap atasan mereka. 

Peraturan Kepolisian No. 5/2025 yang dikeluarkan bulan lalu mengharuskan semua orang asing untuk memperoleh izin dari kepolisian setempat dalam melakukan kegiatan di “lokasi tertentu”. Aturan itu tidak merinci jenis kegiatan atau lokasinya. Tetapi, aturan menyebutkan bahwa wartawan asing dan peneliti asing adalah contoh profesi yang terikat pada peraturan ini. 

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Menanggapi kritik pada aturan tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, mengatakan dalam konferensi pers bahwa izin tidak diwajibkan bagi wartawan asing. Omong kosong. Jika Listyo tidak mencabut aturan, kepolisian setempat kemungkinan akan mengikuti peraturan tersebut.

Wartawan asing sudah harus tunduk pada banyak persyaratan dan pembatasan dalam memperoleh visa dan izin kerja mereka. Visa dan izin kerja mereka harus ditinjau secara berkala, dan bisa saja tidak diperpanjang jika dalam peninjauan ditemukan hal “negatif”, terlepas dari apa pun definisi pemerintah.

Wartawan asing tidak perlu tambahan izin-izin lain, apalagi dari kepolisian. Peraturan baru dari polisi tersebut akan membatasi mobilitas mereka dan memengaruhi kualitas pelaporan mereka. Kita harus melihat pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Papua. Karena wilayah timur tidak boleh diakses jurnalis asing, lebih banyak cerita-cerita negatif yang muncul dalam sebagian besar liputan media asing terkait Papua, ketimbang berita positif. Peraturan baru itu akan merugikan reputasi Indonesia di luar negeri.

Pemukulan terhadap fotografer Antara di Semarang oleh ajudan Listyo minggu lalu adalah contoh lain dari jelasnya sikap bermusuhan polisi terhadap pers. Insiden itu terjadi saat Listyo mengadakan kunjungan kerja ke stasiun kereta api Tawang. Sang ajudan mencoba membuka jalan bagi Listyo di antara kerumunan, yang di dalamnya termasuk jurnalis yang meliput kunjungan. Menurut salah satu saksi mata, tanpa pikir panjang, sang ajudan berteriak, "Kalian wartawan, saya tampar kalian satu per satu." Ajudan itu kemudian memukul bagian belakang kepala fotografer Antara. Pukulan itu lebih dari sekadar tamparan.

Meskipun polisi telah meminta maaf secara terbuka atas perilaku tersebut, insiden itu meninggalkan kesan buruk yang memengaruhi keseluruhan hubungan antara polisi dan media. Insiden itu dilakukan oleh seseorang yang begitu dekat dengan kepala polisi, yang sangat memengaruhi citra kepolisian. Apakah sang kepala polisi memaafkan perilaku itu?

Para jurnalis yang meliput aksi protes mahasiswa di banyak kota, ketika banyak demonstrasi terkait revisi Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), juga mengeluhkan perlakuan polisi yang kasar dan represif. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) telah mendokumentasikan beberapa insiden ini.

Pers juga mengalami serangkaian serangan dalam beberapa bulan terakhir. Meskipun serangan-serangan lain ini tidak selalu dilakukan oleh polisi, lembaga penegak hukum tersebut tetap berkewajiban memberi perlindungan bagi jurnalis dalam menjalankan tugasnya, sesuai Undang-Undang Pers tahun 1999.

Bulan lalu, Majalah Tempo menerima sebuah paket berisi kepala babi, dengan kedua telinga dipotong. Ini adalah tindakan yang jelas-jelas intimidasi terhadap seorang jurnalis perempuan yang menjadi pembawa acara siaran Bocor Alus, program majalah yang populer. Beberapa hari kemudian, seorang pengendara sepeda motor yang lewat melemparkan paket berisi empat ekor tikus mati ke pagar kantor Tempo. Banyak yang percaya bahwa aksi teror ini ada hubungannya dengan liputan kritis Tempo tentang pengesahan revisi Undang-Undang TNI. Polisi telah dipanggil untuk menyelidiki. Tetapi mengingat sikap mereka yang melecehkan media, jangan harap mereka akan menemukan pelakunya.

Selagi kita berupaya memperbaiki hubungan kerja antara media dan polisi, perlu diingat bahwa Undang-Undang Pers 1999 tidak hanya menjamin kebebasan jurnalis dalam melakukan pekerjaan saja. UU tersebut juga menjamin adanya perlindungan hukum dari polisi. Namun, jika masalah sebenarnya terkait sikap, maka langkah memperbaiki hubungan harus dimulai dari pimpinan puncak.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.