emerintah kembali menggunakan UU Penodaan Agama dalam proses menjerat Panji Gumilang, pendiri dan kepala pesantren Al Zaytun di kota Indramayu, Jawa Barat. Setelah mempublikasikan proses penyelidikan yang berlangsung berminggu-minggu, polisi akhirnya menangkap Panji, 77 tahun, atas dasar penyimpangan ajaran dan praktik agama di sekolahnya. Al Zaytun merupakan salah satu pesantren terbesar dan paling sukses secara komersial di Indonesia.
Penggunaan hukum penodaan agama atas penafsiran agama, dalam hal ini agama Islam, secara efektif menempatkan polisi dan jaksa dan kemudian pengadilan, sebagai wasit pembela kebenaran. Sejak undang-undang tersebut diberlakukan pada 1965, hal serupa telah terjadi berkali-kali terhadap sekte dan aliran, atau mazhab agama, yang tidak sesuai dengan versi arus utama atau versi agama yang dominan.
Korban lain, yang terungkap belum lama, termasuk pengikut sekte Syiah dan Ahmadiyah, dan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Yang terakhir adalah aliran sesat yang menggabungkan Yudaisme, Kristen, dan Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa ajaran tersebut sesat. Di masa lalu, pengikut mazhab Kristen dan Budha yang lebih kecil juga pernah menjadi sasaran.
Menganiaya orang lain atas dasar keyakinan mereka tidak hanya bertentangan dengan konstitusi, yang menjamin kebebasan beragama, tetapi juga bertentangan dengan ajaran kebanyakan agama besar. Islam, misalnya, mengatakan tidak akan ada pertobatan jika menyangkut iman. Anda dikatakan menghujat saat memaksakan versi agama dan kebenaran yang Anda yakini pada orang lain.
Polisi juga sedang menyelidiki tuduhan pencucian uang karena Panji dilaporkan memiliki lebih dari 200 rekening bank atas namanya. Kemungkinan kegiatan terorisme juga dipelajari, karena dugaan keterkaitannya dengan Negara Islam Indonesia (NII). NII adalah sebuah gerakan pemberontakan yang diluncurkan pada 1940-an, lalu kemudian dilarang pada 1962. Polisi tidak menemukan bukti apa pun sejauh ini, tetapi mereka bergerak dengan tuduhan penistaan berkat fatwa MUI yang mengatakan bahwa ajaran dan praktik di Al Zaytun merupakan aliran sesat.
Penangkapan Panji nyaris jadi hal wajar berkat publisitas besar-besaran di media sosial yang mendukung klaim penistaan agama, pencucian uang, dan terorisme. Semua klaim tersebut, yang dilontarkan oleh beberapa pimpinan MUI dan juga sejumlah mantan santri serta guru Al Zaytun, menyebar tidak hanya di media sosial tetapi juga di media arus utama. Berita-berita tersebut mengubah opini publik menjadi anti-Panji.
Memainkan sentimen agama adalah cara termudah untuk menjatuhkan seseorang.
Kita bisa lihat bahwa hal yang sama terjadi pada mantan Gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Ia tidak hanya kalah dalam pemilihan ulang 2017, tetapi juga harus menjalani hukuman penjara dua tahun, karena tuduhan penistaan. Klaim penistaan agama yang dimainkan di media sosial memancing reaksi amarah publik, yang berujung pada protes besar-besaran di jalanan Jakarta, yang menuntut hukuman mati bagi Ahok. Kebetulan, ia minoritas ganda: beragama Kristen dan keturunan Tionghoa.
Di masa lalu, pengadilan oleh media sosial jauh lebih mematikan daripada pengadilan oleh pers. Hasil dari semua investigasi, dan kemudian persidangan, terhadap Panji, bisa dibilang nyaris ditentukan oleh opini publik.
Tidak jelas apa yang memotivasi polisi untuk mengejar Panji. Ini bukan pertama kalinya dia harus berurusan dengan klaim ajaran sesat terkait caranya mengelola sekolah. Dulu, ia lolos. Kali ini, dia harus berurusan dengan opini publik yang masif.
Pesantren diawasi oleh Kementerian Agama, bukan oleh Kementerian Pendidikan, tetapi tidak mengharapkan bantuan dari keduanya. Menyusul penangkapan Panji, Kementerian Agama mengatakan bergerak untuk mengambil alih Al Zaytun, mendatangkan guru baru atau mereformasi staf pengajar yang sudah ada. Tujuannya adalah melindungi ribuan siswa. Pemerintah bergerak bahkan sebelum putusan pengadilan.
Beberapa upaya untuk mencabut UU 1965 tidak pernah berhasil. Yang terakhir, pada 2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mempertahankan undang-undang tersebut dengan mengatakan bahwa negara membutuhkannya “untuk melindungi kebebasan beragama sebagaimana dijamin oleh konstitusi.” Namun, kasus Panji justru membuktikan yang sebaliknya.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.