aat museum-museum Barat menolak mengembalikan artefak budaya yang dijarah dari wilayah bekas jajahan mereka, alasan yang sering digunakan adalah kurangnya komitmen negara pascakolonial dalam melestarikan khazanah sejarahnya. Mereka juga mengklaim bahwa negara bekas jajahan tak punya sumber daya untuk mengelola museum sejarah.
Mereka bersikeras bahwa komitmen dan sumber daya sangat penting. Jika negara-negara bekas jajahan tidak benar-benar menginginkan barang-barang bersejarah dan tidak punya kapasitas untuk melindunginya, untuk apa dikembalikan? Memang, bisa dipahami bahwa itulah retorika semu yang digunakan oleh negara-negara penjajah untuk menyimpan sendiri, di museum mereka, artefak hasil curian. Namun, negara-negara Selatan juga harus mengerti bahwa perlu lebih dari sekadar wacana untuk melestarikan warisan sejarah budaya.
Kebakaran yang terjadi baru-baru ini di Museum Nasional di Jakarta telah menimbulkan kekhawatiran soal kapasitas dan komitmen Indonesia dalam melindungi museum. Dikenal luas dengan sebutan museum “Gajah”, Museum Nasional di Jakarta merupakan museum terbesar, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Asia Tenggara. Luasnya 26.500 meter persegi. Didirikan pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, museum ini menyimpan sekitar 141.000 benda, termasuk artefak prasejarah, patung batu, artefak keramik, serta koleksi numismatik, dan artefak geologi.
Kebakaran tersebut menghanguskan enam ruangan di Gedung A, yang menjadi lokasi pameran interaktif ImersifA. Pameran ImersifA adalah sebuah pameran pemetaan video yang mencakup berbagai era sejarah Indonesia, mulai dari prasejarah hingga pergerakan Kemerdekaan 1945. Lantai dasar gedung digunakan untuk menyimpan material konstruksi untuk proyek renovasi yang sedang berlangsung. Api merambat ke lantai atas bangunan, diperburuk oleh tiupan angin kencang, menyebabkan runtuhnya sebagian atap dan dinding.
Menurut para pejabat museum, sebagian besar artefak yang terkena dampak kebakaran adalah replika. Kita boleh berlega hati mengetahui bahwa kerusakan akibat kebakaran kali ini relatif kecil. Namun, lain kali kita mungkin tidak seberuntung itu. Karena itu, penyelidikan atas insiden kebakaran harus dilakukan secara menyeluruh.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim sudah sepatutnya menginstruksikan otoritas museum untuk membentuk tim investigasi gabungan, melibatkan polisi dan pemadam kebakaran. Tim tersebut bertugas memastikan penyebab kebakaran yang saat ini diyakini karena kerusakan listrik. Tim juga harus menginventarisasi artefak yang rusak atau hilang, juga artefak yang masih bisa diselamatkan.
Gangguan listrik kerap disebut-sebut sebagai penyebab kebakaran di Indonesia. Karena itu, harus diakui bahwa ada masalah serius terkait protokol keselamatan kebakaran di ruang publik.
Bahwa sebuah bangunan seperti museum bisa terbakar karena kerusakan listrik sungguh bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Pihak berwenang harus bertindak jelas dan tegas untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Kita punya harta karun berupa artefak prasejarah dan benda sejarah yang perlu dilindungi dari kerusakan, sekecil apa pun. Apalagi dari kemusnahan karena kebakaran. Harus ada manajemen keselamatan yang lebih baik dari para penjaga warisan sejarah dan budaya.
Pada Juli lalu, pemerintah Belanda mengatakan akan mengembalikan ratusan artefak era kolonial yang mereka peroleh secara ilegal dari Indonesia. Barang-barang tersebut termasuk yang disebut "harta karun Lombok". Menurut AFP, harta karun Lombok adalah ratusan benda emas dan perak, yang dijarah oleh tentara kolonial Belanda setelah merebut istana Cakranegara di Pulau Lombok pada 1894. Dalam harta tersebut, terdapat meriam perunggu yang dihiasi perak dan emas serta permata berharga termasuk rubi.
Pemerintah Belanda sebelumnya telah mengembalikan 1.500 artefak sejarah yang dulunya disimpan di Museum Nusantara Belanda ke Indonesia. Museum ini merupakan satu-satunya museum di Belanda yang didedikasikan khusus untuk benda-benda seni dan budaya dari Indonesia. Karena kesulitan keuangan, museum ditutup pada 2013. Menurut laporan Tempo, awalnya mereka menawarkan untuk menyerahkan sekitar 12.000 artefak ke Indonesia, namun Direktur Jenderal Kebudayaan memilih untuk hanya menerima 1.500 benda yang sudah terseleksi.
Nasib warisan sejarah kita, ada di tangan kita sendiri. Kita tak bisa membiarkan kecerobohan dan ketidakpedulian menyebabkan kita tidak punya warisan sejarah lagi.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.