Salah satu tantangan besar bagi pemerintah saat ini adalah segera menciptakan lapangan kerja bagi generasi muda, seiring dengan pertumbuhan populasi mereka.
erita tentang generasi muda di Indonesia terdengar tidak baik. Kekurangan bukan hanya karena Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi telah mengusulkan kenaikan biaya kuliah mereka, tetapi juga karena adanya temuan bahwa hampir 10 juta orang berusia 15 hingga 24 tahun, yang dikenal sebagai Gen Z, tidak punya pekerjaan alias menganggur.
Angka yang mengejutkan tersebut tak urung membuat kita mempertanyakan letak kesalahan sistem pendidikan dan pasar tenaga kerja kita. Apakah lapangan pekerjaan yang ada terlalu sedikit atau apakah generasi muda ini tidak memenuhi syarat? Dan jika banyak yang tidak memenuhi standar yang disyaratkan, mengapa repot-repot mengeluarkan dana lebih besar untuk pendidikan?
Kenyataannya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat pengangguran di kalangan penduduk berusia 15 hingga 29 tahun tergolong tinggi selama lima tahun terakhir.
Pengangguran di kelompok usia 15-19 tahun tercatat sebesar 29,08 persen pada 2022. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, termasuk pada awal pandemi COVID-19 tahun 2020 yang sebesar 24,34 persen. Di kelompok usia 20-24 tahun, angka pengangguran turun 1,69 persen sejak pandemic. Pada 2022, angkanya tercatat 17,02 persen.
Angka tersebut juga jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat rata-rata pengangguran tahunan. Rata-rata angkanya mencapai sekitar 5 hingga 7 persen pada periode yang sama, yang berarti jumlah pengangguran di kelompok usia lainnya jauh lebih sedikit.
Dalam laporannya baru-baru ini, Harian Kompas menyoroti salah satu penyebab tingginya angka pengangguran. Menurut harian tersebut, persoalannya adalah berkurangnya jumlah lapangan kerja yang tersedia di sektor formal. Antara 2019 dan 2024, sektor formal hanya mampu menyerap 2 juta angkatan kerja, turun drastis dari 8,5 juta pekerjaan pada 2014-2019 dan 15,6 juta pada tahun 2009-2014. Sementara itu, biaya kuliah di perguruan tinggi negeri terus meningkat sekitar 1,3 persen per tahun.
Bisa jadi hal tersebut berkontribusi terhadap jumlah pengangguran di kalangan Gen-Z. Namun perlu diperhatikan juga bahwa bagi kelompok usia 15-19 tahun, tidak banyak tersedia pekerjaan di sektor formal. Mereka hanya lulus SMA, atau bahkan lebih rendah lagi. Menciptakan lapangan kerja di sektor nonformal atau sektor yang menekankan keterampilan, dan tidak memperhitungkan ijazah universitas, mungkin lebih efektif dalam menyelesaikan masalah pengangguran.
Bagi mereka yang berada dalam kelompok usia 20-24 tahun, tampaknya inisiatif pemerintah berupa Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), dapat membantu mengurangi pengangguran. Sayangnya, tidak bisa segera. Program tersebut mencakup mewajibkan mahasiswa untuk melakukan upaya magang secara signifikan.
Sejak 2015, Indonesia mengklaim telah memperoleh manfaat dari bonus demografi. Kata tersebut mengacu pada sebuah fenomena kependudukan, yang memperlihatkan bahwa jumlah penduduk usia produktif, yaitu 15-64 tahun, lebih besar dibandingkan jumlah penduduk nonproduktif. Sebutan lainnya adalah dividen, karena pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh penduduk produktif diharapkan dapat mengatasi beban penduduk nonproduktif.
Menjadi bencana ketika populasi produktif gagal mencapai tingkat produktivitas yang dibutuhkan untuk mengangkat beban ekonomi secara keseluruhan.
Salah satu tantangan besar bagi pemerintah saat ini adalah dengan segera menciptakan lapangan kerja bagi generasi muda, seiring dengan pertumbuhan populasi mereka. Kegagalan untuk melakukannya dapat mengakibatkan jumlah pengangguran meningkat pesat, sehingga terjadi penurunan perekonomian.
Daripada menghabiskan dana untuk proyek-proyek infrastruktur besar, mungkin sudah waktunya bagi pemerintah untuk berinvestasi di bidang pendidikan. Yang harus diutamakan adalah program-program yang dapat meningkatkan keterampilan generasi muda dan memungkinkan mereka untuk bekerja secara mandiri. Namun, lebih dari itu, penting untuk merealisasikan rencana tersebut secara matang.
Negara ini telah bereksperimen dengan banyak ide besar untuk mewujudkan pendidikan yang lebih baik. Langkah awal mulai dari mengalokasikan 20 persen APBN untuk pendidikan, mengembangkan sekolah kejuruan, dan menyusun program MBKM. Namun semua hal ini tampaknya tidak cukup baik, gara-gara pemerintah masih berjuang untuk meningkatkan efisiensi dan memberantas korupsi, sambil juga harus mengatasi dampak dari bertambahnya populasi generasi muda.
Perlu ada tinjauan yang lebih menyeluruh dan perencanaan cermat dalam pembangunan manusia. Hal itu sangat penting dilakukan. Dan jalan yang diambil bukanlah yang bersifat jangka pendek, sekaligus menunjukkan sikap putus asa, seperti menaikkan biaya kuliah.
Perencanaan dan pelaksanaan kebijakan yang lebih hati-hati untuk membantu perkembangan generasi muda kita adalah kunci. Jika kita tidak melakukannya, yang akan terjadi adalah bencana demografi.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.