TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Pelajaran dari Korea

Budaya politik kita sering kali memungkinkan para pemimpin leluasa menghindari akuntabilitas.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Sat, December 21, 2024 Published on Dec. 20, 2024 Published on 2024-12-20T18:42:47+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Pelajaran dari Korea South Korean President Yoon Suk-yeol bows on Dec. 14, 2024, during a public address from his official residence in Seoul in this handout photo issued by the South Korean Presidential Office via Yonhap. (AFP/Handout/South Korean Presidential Office via Yonhap)
Read in English

 

Terkait presiden, orang Korea Selatan tampaknya termasuk orang-orang paling keras di dunia.

Pekan lalu, anggota parlemen Korea Selatan bergerak untuk mencopot Presiden Yoon Suk-yeol dari jabatannya. Pencopotan dilakukan setelah sang presiden mengeluarkan deklarasi darurat militer, yang berlaku singkat pada 3 Desember.

Keputusan Presiden yang mengejutkan untuk menangguhkan pemerintahan sipil merupakan pertaruhan politik berisiko tinggi, yang membangkitkan kenangan menyakitkan tentang masa lalu otoriter negara itu. Di masa lalu, pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan kebebasan demokrasi tersebar luas di Korea Selatan.

Tindakan Yoon membangkitkan ketakutan akan kemunduran, kembali ke era gelap itu. Akhirnya, muncul protes publik yang langsung dan tegas. Gelombang protes menuntut pemecatannya segera meletus di seluruh negeri.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Yoon bisa menjadi presiden Korea Selatan kedua yang dimakzulkan jika Mahkamah Konstitusi menyetujuinya. Ironisnya, ia juga berperan penting dalam penggulingan Park Geun-hye, presiden pertama yang dimakzulkan.

Yoon menghadapi kemungkinan dipenjara seumur hidup, atau bahkan dijatuhi hukuman mati, jika terbukti bersalah atas tuduhan pemberontakan. Sistem hukum Korea Selatan mengizinkan hukuman tersebut dalam kasus yang dianggap sebagai ancaman serius terhadap tatanan konstitusional dan pemerintahan yang demokratis.

Episode ini menggarisbawahi pelajaran utama, tentang pentingnya menarik garis tegas terhadap penyalahgunaan kekuasaan.

Kita menyaksikan bagaimana rakyat Korea Selatan dan para pejabat terpilihnya bersedia sepenuh hati membela lembaga demokrasi negara. Mereke tetap membela, bahkan ketika personel keamanan dan militer dikerahkan untuk mencegah masyarakat melawan perintah Yoon.

Tindakan cepat dan terkoordinasi di Korea Selatan memberi sebuah contoh aksi ketahanan yang mungkin ingin ditiru negara lain.

Tiba-tiba, jalan-jalan di Seoul menjadi simbol demokrasi yang meriah, yang menolak memberi toleransi pada kecenderungan pemerintah otoriter.

Pengacara Yun Bok-nam menggambarkan situasinya sebagai momen transformatif yang memperkuat kesadaran demokrasi publik.

Mungkin terdengar kasar jika tindakan satu orang mendapat reaksi sedemikian keras, tetapi hal itu perlu dilakukan.

Pemakzulan Presiden Park pada 2017 menjadi contoh yang makin melengkapi kerasnya rakya Korea Selatan pada presiden mereka. 

Pemecatan Park didorong oleh pengungkapan tata kelola yang tidak etis. Langkahnya ditanggapi oleh “Revolusi Lilin,” sebuah gerakan akar rumput besar yang menuntut keadilan.

Kasus-kasus tersebut menyoroti bagaimana masyarakat dan lembaga di Korea Selatan bekerja sama untuk meminta pertanggungjawaban para pemimpin mereka.

Sementara itu, di Indonesia, tuduhan tentang tindakan eksekutif yang berlebihan menjelang dan selama pemilihan umum Februari 2024 sebagian besar tidak terjawab. Begitu pula tuduhan bahwa mantan presiden Joko "Jokowi" Widodo menggunakan lembaga negara untuk melemahkan kandidat oposisi, serta memfasilitasi pencalonan wakil presiden yang kontroversial bagi putranya, Gibran Rakabuming Raka.

Faktanya, budaya politik kita sering kali memungkinkan para pemimpin menghindari pertanggungjawaban. Sikap permisif ini menumbuhkan lingkungan yang berbahaya. Bisa jadi, korupsi dan pelanggaran menjadi hal yang biasa.

Alih-alih menimbulkan kecaman, usulan Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini, bahwa para koruptor dapat diampuni jika mereka mengembalikan dana yang mereka curi, justru membuat anggota pemerintahannya menyebutnya sebagai "terobosan hukum". 

Sementara itu, para aktivis mengatakan bahwa bagi masyarakat sipil Indonesia, "winter is coming”. Pepatah itu merujuk pada kemungkinan-kemungkinan buruk di masa depan. Gerakan pengingat ini, meskipun signifikan, tidak punya dampak berkelanjutan yang diperlukan untuk mendorong perubahan yang berarti. 

Belajar dari Korea Selatan, Indonesia harus fokus pada penguatan perlindungan kelembagaan, juga pemberdayaan warga negaranya, untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas. 

Peran pemuda dan gerakan digital dalam ketahanan demokrasi Korea Selatan menawarkan wawasan yang berharga. Penggemar K-pop, misalnya, telah mengubah pengaruh budaya mereka menjadi platform untuk advokasi. Hal itu menunjukkan cara budaya populer dapat bersinggungan dengan keterlibatan politik. Mereka telah dimobilisasi untuk meningkatkan kesadaran akan isu-isu sosial dan politik, sering kali menggunakan jaringan daring mereka yang luas, untuk menantang narasi dan meminta pertanggungjawaban kekuasaan. 

Di Indonesia, strategi serupa dapat memperkuat upaya reformasi, dengan memanfaatkan media sosial untuk menyatukan berbagai kelompok yang punya tujuan bersama. 

Pengalaman terkini Korea Selatan menekankan perlunya melindungi lembaga-lembaga demokrasi dengan segala cara. Semua menunjukkan bahwa kewaspadaan masyarakat dan lembaga yang tanggap dapat dengan cepat menangkal penyalahgunaan kekuasaan. Ini menjadi sebuah contoh yang dapat diadaptasi Indonesia untuk melindungi demokrasinya sendiri.

Akuntabilitas tidak boleh dinegosiasikan, dan ambiguitas moral tidak punya tempat dalam pemerintahan.

Pelajaran dari Korea Selatan mengingatkan kita, bahwa demokrasi tidak dapat berdiri sendiri. Demokrasi butuh upaya terus-menerus dari warga negara dan lembaganya agar dapat berkembang.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.