Pelanggaran etik di KPU merupakan skandal etik kedua yang terjadi terkait pencalonan Gibran.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali mendapat sorotan publik setelah ketuanya terbukti melakukan pelanggaran kode etik, terkait pendaftaran calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka.
Dalam sidang etik pada hari Senin 5 Februari, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito mengatakan bahwa Ketua KPU Hasyim Asy'ari dan keenam komisioner KPU terbukti melakukan pelanggaran etik. Pelanggaran tersebut adalah mengizinkan Gibran mendaftarkan diri sebagai calon wakil presiden sebelum KPU merevisi batas minimal usia kandidat peraturan internalnya.
Gibran, putra Presiden Joko "Jokowi" Widodo, yang berusia 36 tahun, pada awalnya tidak memenuhi syarat untuk menjadi kandidat di pemilu. Usianya masih di bawah usia minimum 40 tahun, yang menjadi peraturan untuk mendaftarkan pencalonan seperti yang ditetapkan dalam peraturan KPU, yang sejalan dengan UU Pemilu 2017.
Namun, dalam sebuah keputusan kontroversial pada 16 Oktober tahun lalu, Mahkamah Konstitusi menghapus persyaratan usia minimum untuk kandidat, jika sang kandidat punya pengalaman sebagai pejabat yang terpilih dari pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Penghapusan syarat usia ini membuka jalan bagi Gibran untuk mendaftarkan dirinya sebagai pasangan calon presiden Prabowo Subianto ke KPU, sekitar satu minggu kemudian.
DKPP mengatakan bahwa KPU seharusnya segera mengadakan pertemuan dengan anggota parlemen dan pemerintah setelah putusan pengadilan, yang merupakan prasyarat untuk merevisi peraturan KPU. Namun, KPU malah memilih untuk menginformasikan partai-partai politik tentang perubahan persyaratan hasil putusan tersebut, sebelum akhirnya meminta pertemuan dengan anggota parlemen seminggu kemudian, dan menyesuaikan peraturan internal dengan putusan pencalonan pengadilan.
Secara terpisah pada hari Senin, Hasyim mengatakan: "Saya tidak punya komentar tentang hal ini; saya akan terus bekerja".
Pelanggaran berulang
DKPP menjatuhkan "peringatan keras terakhir" kepada Hasyim atas perannya dalam kasus ini, sementara enam anggota KPU lainnya menerima "peringatan keras". Sebelumnya, Hasyim telah mendapatkan dua peringatan keras lainnya dari DKPP karena pelanggaran etik pada bulan Maret dan April tahun lalu.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan bahwa tiga kali pelanggaran etik seharusnya sudah cukup menjadi alasan bagi Hasyim untuk diberhentikan sebagai ketua KPU.
Namun ia berspekulasi bahwa DKPP menahan diri untuk tidak melakukannya. Bagaimana pun, memberhentikan Hasyim dan menunjuk penggantinya sekitar sembilan hari sebelum hari pemungutan suara pada tanggal 14 Februari dapat membahayakan pemilu.
"Saya rasa DKPP menyadari kesulitan teknis [yang akan muncul dari pemecatan Hasyim], karena pemilu ini adalah situasi yang 'terlalu besar untuk gagal'. Tapi saya rasa Hasyim seharusnya dipecat," katanya.
Pakar hukum lainnya, Feri Amsari, mengatakan bahwa putusan DKPP telah membuat integritas KPU dipertanyakan.
"[Putusan DKPP] semakin menegaskan bahwa KPU berniat untuk menipu [aturan] dalam menangani pemilu, terutama dalam hal pencalonan Gibran," kata Feri.
KPU telah beberapa kali mendapat masalah menjelang pemilu Februari. Salah satunya ketik tahun lalu mereka menyiratkan bahwa akan membatalkan debat calon wakil presiden dan memperbolehkan kampanye tidak resmi di luar musim kampanye.
Tawaran cawapres yang tidak etis?
Pelanggaran etik di KPU adalah skandal etik kedua yang menyangkut pencalonan Gibran.
Skandal pertama terjadi pada November 2023. Saat itu, Dewan Etik Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ketua MK saat itu, Anwar Usman -paman Gibran- bersalah atas pelanggaran etik, karena tidak mengundurkan diri dari hasil keputusan 16 Oktober dan mempengaruhi rekan-rekan hakim lainnya.
Namun, kedua pelanggaran etik tersebut tidak akan berdampak langsung pada pencalonan Gibran sebagai wakil presiden. Baik DKPP maupun Dewan Etik Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkan pencalonannya.
Untuk menghilangkan kemungkinan kekhawatiran adanya masalah etik seputar pasangan Prabowo-Gibran, juru kampanye mereka, Habiburokhman, mengatakan bahwa keputusan DKPP hanya menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi membuat keputusan yang tepat, ketik memutuskan untuk mengubah persyaratan pencalonan. Ia juga mengatakan bahwa itu adalah kesalahan KPU sendiri karena gagal mengubah peraturannya tepat waktu.
"Jadi semakin jelas bahwa tidak ada secuil pun bukti yang dapat dijadikan dasar untuk menuduh Prabowo dan Gibran sebagai pihak yang melakukan pelanggaran etik," katanya dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada hari Senin.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.