Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsPemerintahan Trump masih punya pengaruh untuk mengubah situasi, bahkan menentukan pemenangnya, dalam konflik antara Israel dan Iran.
Ketika media Amerika Serikat memberitakan tentang rencana Israel menyerang fasilitas nuklir Iran pada akhir Mei, pertanyaan utamanya adalah Presiden Donald Trump akan menanggapi eskalasi tersebut dengan cara apa.
Saat itu, ada optimisme yang tulus bahwa Trump tidak akan mengikuti misi nekat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Bagaimana pun, Trump akhirnya terpilih untuk masa jabatannya yang kedua dengan mengusung program utama untuk menarik AS dari berbagai keterlibatannya di kancah regional. Bahkan, salah satu janji pentingnya saat kampanye adalah bahwa ia akan membawa perdamaian ke Ukraina di hari pertama menjabat.
Tak pelak, model petualangan dalam konteks kebijakan luar negeri, atau kekacauan lain, tidak akan sejalan dengan konsep MAGA. Gerakan MAGA, atau akronim dari make America great again, adalah semboyan Trump saat kampanye.
Pada hari-hari dan minggu-minggu setelah kebocoran data intelijen, cukup banyak tindakan dan pernyataan Trump yang mengisyaratkan bahwa rencana Netanyahu menyerang Iran tidak akan didukung.
Sebaliknya, Trump justru mengutamakan diplomasi saat berurusan dengan Iran. Ia mengirim utusan bidang Timur Tengah, Steve Witkoff, untuk merundingkan kesepakatan terkait nuklir.
Banyak yang menganggap bahwa keputusan Trump untuk tidak singgah di Israel, selama perjalanan internasional pertamanya ke Timur Tengah pada Mei lalu, merupakan bentuk sikap meremehkan terhadap Netanyahu.
Untuk sementara, optimisme menang. Pejabat AS mengatakan bahwa mereka "termotivasi" dengan kemajuan negosiasi. Inilah hubungan di level tertinggi antara dua negara yang bermusuhan, sejak Washington menarik diri dari kesepakatan penting yang ditandatangani di bawah kepresidenan Barack Obama, pada 2018.
Masyarakat Iran sendiri juga berharap bahwa mungkin akan terjadi terobosan. Pada Mei, seorang pejabat Iran mengatakan bahwa pertemuan itu "sulit tetapi bermanfaat."
Hanya tiga hari yang lalu, ketika rudal dan roket mulai menghujani Teheran dan Israel, setelah serangan mendadak Israel, Presiden Trump masih memainkan peran sebagai sosok yang bertanggung jawab penuh, dengan memveto rencana Netanyahu untuk menyingkirkan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Tetapi apa yang terjadi dalam dua hari?
Ketika rudal Israel terus menghantam lebih banyak lokasi di Iran, Trump mulai mengubah sikap, mengambil posisi yang lebih agresif. Ia mengancam akan melakukan hal serupa dengan yang telah ia tolak beberapa hari sebelumnya.
Pada Selasa, melalui platform media sosial Truth Social, ia mengancam akan membunuh Ayatollah dengan cara yang paling tegas. "Kami tidak akan menghabisinya (membunuhnya!), setidaknya untuk saat ini," kata Trump.
Saat koran ini naik cetak pada Rabu, ada harapan bahwa Iran sedang mempersiapkan rudal untuk serangan balasan di pangkalan AS di Timur Tengah. Hal itu merupakan respons nyata terhadap pernyataan Trump yang menyerukan agar Iran "menyerah tanpa syarat". Trump juga menyarankan bahwa AS dapat bergabung dalam upaya perang Israel.
Konsekuensi dari perang di Timur Tengah, yang melibatkan tiga negara kuat yang bersenjata nuklir, sangat mengerikan. Saat ini, semua orang di dunia memang hidup di salah satu hari tergelap dalam sejarah modern.
Perang besar yang hari ini terjadi di Timur Tengah mungkin merupakan konsekuensi dari dunia multipolar. Dalam dunia tersebut, tidak ada satu negara pun yang dapat memaksakan syarat dan ketentuan kepada negara lain.
Beberapa tahun terakhir, banyak hal yang menunjukkan terjadinya kemunduran AS. Tetapi kenyataannya, pemerintahan Trump masih mungkin punya pengaruh untuk mengubah situasi, bahkan menentukan siapa yang menang, dalam konflik antara Israel dan Iran.
Bagaimanapun, AS masih memiliki kekuatan militer terkuat di dunia, yang dapat dikerahkan untuk meredakan situasi.
Warga Amerika seharusnya lebih paham, berkat pengalaman mereka di Vietnam dan Afghanistan, bahwa berpartisipasi dalam perang di tempat yang jaraknya ribuan kilometer dari rumah dapat menyeret mereka terjerumus dalam kubangan masalah. Dan butuh waktu bertahun-tahun agar dapat terbebas darinya.
Pada 2004, tank-tank AS meluncur di jalan-jalan Baghdad demi menggulingkan Saddam Hussein. Mereka kemudian butuh waktu dua puluh tahun untuk dapat meninggalkan Irak.
Sekadar informasi, Teheran hanya berjarak sekitar 800 kilometer dari Baghdad.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.