TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Ambruknya pusat data

Pemerintah harus transparan kepada publik dan investor lokal mengenai implikasi kesepakatan dengan AS, terutama yang terkait penyimpanan data.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Tue, August 5, 2025 Published on Aug. 4, 2025 Published on 2025-08-04T15:13:33+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
A prototype of data center project SMX01 from a joint venture between Sinar Mas digital infrastructure and services company SM+ and Korea Investment Real Asset Management (KIRA) that is set to be completed in the second half of 2026. A prototype of data center project SMX01 from a joint venture between Sinar Mas digital infrastructure and services company SM+ and Korea Investment Real Asset Management (KIRA) that is set to be completed in the second half of 2026. (TJP/Ni Made Tasyarani)
Read in English

 

Sejak peluncuran ChatGPT pada 2022, dunia bagai tercebur masuk dalam hiruk-pikuk kecerdasan buatan (artificial intelligent atau AI). Lalu ada semacam adu cepat dalam membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung AI.

Nvidia, produsen chip pemrosesan AI terkemuka, telah mengalami lonjakan saham lebih dari tujuh kali lipat sejak saat itu. Di sisi lain, permintaan global untuk pusat data, beserta listrik ramah lingkungan yang dibutuhkan untuk mengoperasikannya, telah naik secara signifikan.

Di atas kertas, ini saat tepat bagi Indonesia untuk memanfaatkan momentum menjadi pemasukan. Indonesia adalah negara besar. Populasi negara ini terus berkembang dan melek teknologi. Permintaan domestik juga tinggi. 

Lebih penting lagi, negara kepulauan ini terletak sangat dekat dengan Singapura, yang menjadi inti dunia digital Asia Tenggara. Dengan kelangkaan lahan yang membatasi kemampuan negara berbentuk kota tersebut dalam menyediakan infrastruktur tambahan, sewajarnya Indonesia menjadi sasaran berikut yang dibidik perusahaan hyperscaler dan raksasa cloud yang ingin berekspansi.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Lalu masalah energi mengemuka.

Persaingan AI secara global bukan lagi hanya tentang teknologi komputer, tetapi juga tentang keberlanjutan. Pusat data butuh pasokan daya yang besar, dan perusahaan teknologi global menuntut sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Potensi panas bumi dan tenaga surya Indonesia, yang belum dimanfaatkan, menawarkan keunggulan kompetitif yang langka.

Namun, alih-alih memanfaatkan peluang tersebut, Indonesia justru tertinggal jauh. Malaysia telah bergerak lebih cepat. Malaysia bergegas memposisikan Johor Bahru sebagai pusat data untuk menyerap kelebihan pasokan Singapura dan meraup keuntungan paralel dalam investasi energi hijau.

Sementara itu, momentum Indonesia tersendat-sendat. Negosiasi perdagangan yang sedang berlangsung dengan Amerika Serikat dapat memperburuk keadaan. Konsesi yang diusulkan, yang memungkinkan transfer data pribadi warga negara Indonesia ke AS dengan imbalan pengurangan tarif dari 32 menjadi 19 persen, telah menjadi poin penting.

Meskipun pemerintah bersikeras bahwa hal ini "masih dalam negosiasi" dan skema tersebut merupakan "praktik umum", fakta bahwa hal itu secara eksplisit disebutkan dalam kerangka negosiasi AS menunjukkan bahwa transfer data pribadi bukanlah sesuatu yang biasa-biasa saja. 

Jika kesepakatan ini disetujui, perusahaan teknologi AS mungkin tidak perlu lagi membangun pusat data di Indonesia sama sekali. Mereka bisa saja melayani pasar dengan mengendalikannya dari jarak jauh melalui Google Cloud, AWS, atau infrastruktur Microsoft Azure di luar negeri.

Itu adalah skenario yang persis mimpi buruk bagi investor lokal. Banyak di antara investor lokal telah bertaruh atau baru mulai bertaruh pada aturan lokalisasi data sebagai magnet untuk investasi infrastruktur jangka panjang.

Beberapa telah memperingatkan bahwa fasilitas lokal dapat berakhir terdegradasi menjadi "edge computing nodes" atau hybrid cloud support. Artinya hanya sekadar unsur tambahan yang kurang diunggulkan, bukan lagi jadi pusat pemrosesan data seperti yang dibayangkan.

Para analis juga menggambarkan kesepakatan perdagangan digital itu sebagai "tidak adil". Menurut mereka, perjanjian tersebut lebih menguntungkan perusahaan penyimpanan data yang berbasis di AS dan tidak memikirkan perlindungan data pribadi.

Lebih buruk lagi, tidak ada negara di regional, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, atau Filipina, yang harus membuat konsesi serupa. Padahal, mereka menerima pengurangan tarif yang sebanding. Negara-negara ekonomi besar seperti Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa juga menikmati tarif yang lebih rendah, yaitu 15 persen, tanpa menawarkan konsesi yang sama.

Sejauh ini, pemerintah telah mencoba menampilkan kesepakatan tarif 19 persen sebagai sebuah kemenangan. Faktanya, kesepakatan ini lebih terlihat seperti kompromi sepihak, dengan kondisi Indonesia lebih banyak berkorban tapi hanya sedikit meraup untung. 

Dengan tenggat waktu 7 Agustus yang semakin dekat, ada dua hal yang kini menjadi krusial.

Pertama, pemerintah harus transparan kepada publik dan investor lokal tentang yang sebenarnya dipertaruhkan. Pemerintah harus menjelaskan implikasi kesepakatan ini, terutama terkait penyimpanan data dan terhadap industri pusat data domestik. Menutupi masalah ini dengan jaminan yang tidak jelas hanya akan menjadi bumerang jika kesepakatan tersebut pada akhirnya merusak ambisi jangka panjang.

Kedua, harus ada keputusan tentang yang dituju Indonesia, apakah ingin menjadi pemain serius dalam ekosistem AI dan pusat data global, atau melewatkan transformasi teknologi yang paling menentukan di abad ini.

Kesempatan yang tersedia makin sedikit. Jika pemerintah tidak berhati-hati, Indonesia dapat menyia-nyiakan kesempatan sekali seumur hidup untuk memanfaatkan gelombang pengembangan AI dan pusat data.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.